Kisah Tempe Setengah Jadi


Kisah ini saya peroleh dari buku Ketika Allah Menguji Kita. Kisah ini menggambarkan betapa usaha dan doa terkadang tidak mendapatkan hasil seperti yang kita harapkan. Namun, dibalik kegagalan tersebut ternyata Allah menyiapkan hal lain yang lebih baik.

Di suatu tempat di Surabaya, Jawa Timur, hiduplah seorang ibu penjula tempe dengan seorang anaknya yang masih balita. Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lakukan sebagai penyambung hidup dirinya dan anak semata wayangnya.

Meski demikan, naris tak pernah lahir sebuah keluhan pun dari bibirnya. Ia selalu menjalani hidupnya dengan riang gembira. “Jika tempe ini yang nanti akan mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyelesalinya … , … demikian dia selalu memaknai hidupya. Suatu Jumat pagi, setelah shalat subuh, dia pun segera bergegas dan mengambil keranjang bambu tempat tempe, lalu dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atas satu-satunya meja panjang di rumahnya. Akan tetapi (Deg ! … dadanya bergemuruh …) tempe yang akan dia jual di pasar, ternyata belum jadi. Semuanya masih berupa kacang kedelai, dan sebagian berderai, belum disatukan oleh ikatan-ikatan putih kapas dari peragian. Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi tempe sempurna. Tubuhnya mendadak lemas. Dia bayangkan, hari ini dia pasti tidak akan mendapatkan uang, untuk makan anaknya, dan modal membeli kacang kedelai, yang akan dia olah kembali menjadi tempe.

Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi. Di tengah rasa putus asa, terbesit secercah harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah SWT, pasti tak ada yang mustahil. Maka, dengan segea ditengadahkan kepalanya, dia angkat tangannya, dan dia baca doa, “ Ya Allah, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hama-Mu yang hina ini. Bantulah aku ya Allah, ubahlah kedelai ini menjadi tempe. Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibku…” Dalam hati, dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya.

Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe. Dia rasakan kehangatan yang menjalari daun itu. Proses peragian memang sedang berlangsung. Dadanya masih bergemuruh. Dengan pelan-pelan, dia buka daun pembungkus tempe itu. Dan akhirnya … dia kecewa. Tempe itu masih belum juga berubah. Kacang kedelainya belum semuanya menyatu oleh kapas-kapas ragi putih.

Tetapi, dengan memaksa senyum, dia segera berdiri. Dia yakin Allah pasti sedang ‘memproses’ doanya. Dan tempe itu pasti akan jadi. Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah seperti dia.

Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi, “Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang mustahil bagi-Mu. Engkau Maha Tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan selain berjualan tempe. Karena itu ya Allah, jadikanlah tempe ini. Bantulah aku, kabulkan doaku …”

Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju ke pasar, dia buka daun pembungkus tempe itu sekali lagi.

“Tempeku pasti telah jadi sekarang,” batinnya. Dengan berdebar, dia intip dari sela-sela pembungkus daun itu, dan … belum jadi. Kacang kedelai itu belum sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang kedelai tersebut. “Keajaiban Tuhan akan datang … pasti,” yakinnya.

Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin, ‘tangan’ Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses peragian atas tempe-tempenya. Berkali-kali dia memanjatkan doa … berkali-kali dia yakinkan diri, Allah pasti mengabulkan doanya.

Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia mulai letakkan keranjang-keranjang itu. “Pasti sekarang telah jadi tempe !” batinnya. Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu pelan-pelan. Dan … dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika pertama kali dia buka di dapur tadi.

Kecewa, airmata mulai menitiki pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan ? Kenapa tempe itu tidak jadi ? Kenapa Allah begitu tidak adil ? Apakah Dia ingin aku menderita ? Apa salahku ? Demikian batinnya berkecamuk.

Dengan lemas, dia mulai gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas karpet plastik yang dia sediakn. Tangganya mulai lemas, tak yakin akan ada orang yang mau membeli tempenya itu. Dan dia tiba-tiba merasa lapar… merasa sendirian. Allah telah meninggalkan aku batinnya.

Tangisnya kian menjadi-jadi.

Airmatanya kian mengalir deras. Terbayang di benaknya bahwa esok dia tak akan dapat berjualan … esok dia pun tak akan dapat makan, begitu pula dengan buah hati tersayangnya. Dilihatnya kesibukkan pasar, orang yang lalu lalang, dan ‘teman-temannya’ sesama penjual tempe di sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas karena hari sudah menjelang sore. Dianggukinya mereka yang pamit, karena tempenya telah habis terjual. Kesedihannya mulai memuncak. Diingatnya kembali, dia tak pernah mengalami kejadian ini. Tempenya tak pernah tak jadi. Tangisnya kian menjadi-jadi. Dia merasa cobaan hari itu sangat berat.

Di tengah kesedihan itu, sebuah tepukan ramah mendarat di pundaknya. Dia memalingkan wajahnya seketika. Seorang perempuan cantik, paruh baya, tengah tersenyum, memandangnya.

“Maaf Ibu, apakah Ibu punya tempe yang setengah jadi ? Saya lelah sekali mencari-cari di pasar ini sejak pagi, dan tak ada seorang pun pedagang tempe yang menjualnya. Apakah Ibu punya tempe setengah jadi ?”

Ibu penjual tempe itu termangu-mangu. Terkesima, Tiba-tiba wajahnya pucat. Tanpa menjawab pertanyaan si Ibu cantik tadi, dia cepat menengadahkan tangan. “ Ya Allah, pada saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi sempurna. Jangan Engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan jadikan tempe … “ Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi, setengah ragu, dia letakkan lagi. “Jangan-jangan, sekarang sudah jadi tempe … “

“Bagaimana bu ? Apa Ibu menjual tempe setengah jadi ?” tanya perempuan itu lagi.

Kepanikan melandanya lagi. “Duh Gusti …  bagaimana ini ? Tolonglah ya Allah, jangan jadikan tempe ya?” ucapnya berkali-kali. Dan dengan gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang dia lihat … ? Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih sama. Belum jadi ! “Alhamdulillah!” pekiknya, tanpa sadar. Segera dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli.

Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si Ibu cantik itu. “Kok aneh ya, Ibu mencari tempe kok yang belum jadi?”

Si ibu pembeli tempe itu menyambut, “Oohh, bukan begitu, Bu. Anak saya si Muhammah, yang kuliah S2 di Swedia ingin sekali maka tempe, asli buatan sini. Nah, supaya bisa sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi, saat saya bawa besok, sesampainya di sana masih layak dimakan. Oh ya, semua tempenya saya borong, Bu. Jadi semua tempenya berapa Bu?”

Begitulah ceritanya. Si Ibu penjual tempe yang tadinya berdoa supaya tempenya jadi, kemudian malah memohon agar tempenya tidak jadi. Penjual tempe yang tadinya merasa sedih dan tertean karena Allah tidak mengabulkan doanya, akhirnya merasa sangat bersyukur karena apa yang telah ditetapkan-Nya. Seperti apa yang disampaikan Al Allamah Abdullah bin Alwi Al Haddad,

“Jika dengan hikmah Allah suatu jalan ditutup di hadapanmu, maka dengan rahmat-Nya, Dia akan membuka jalan lain bagimu yang lebih bermanfaat dari jalan pertama”

Sumber : Ketika Allah Menguji Kita, Alwi Alatas, Tarbawi Press


Leave a Reply